Bagi warga Sukabumi yang bekerja di Jakarta, pasti sudah terbiasa dengan kemacetan yang tidak mengenal waktu dan selalu menyertai setiap kali menempuh perjalanan dari dan ke Jakarta - Sukabumi. Mulai dari lampu merah Ciawi, padat merayap sampai pertigaan Cikereteg, bahkan kadang sampai daerah wisata Lido. Belum lagi harus menghadapi kemacetan yang luar biasa di daerah Cicurug dan Cibadak, hal ini bisa membuat senyum menjadi sirna dari wajah.
Sejak usia anakku 5 tahun aku menempuh rute perjalanan itu, Dua tahun pertama seminggu sekali karena masih semangat, tahun ketiga dan keempat dua minggu sekali, tahun kelima mulai deh hanya menjadi sebulan sekali. Ngapain sih ke sana? Sudah tahu macet, masih juga dilakoni? Hanya semata-mata berjuang demi anakku. Penasaran? Insyaallah akan kuceritakan di waktu yang lain, karena pada saat ini ceritaku hanya mengenai satu hari saat aku menghindari kemacetan yang gak berujung...
Jika pergi ke Sukabumi, aku pasti melakoninya di hari kerja, hanya untuk menghindari kemacetan yang biasanya lebih parah di hari sabtu dan minggu. Selain itu bukankah Sabtu dan Minggu merupakan hari untuk keluarga? Tapi ternyata di hari itu, walaupun hari kerja, kemacetannya parah sekali. Truk-truk pengangkut air mineral, tanah, pasir, batu alam, batu kapur, yang berjalan pelan seperti keong di setiap tanjakan tidak dapat kudahului karena dari arah berlawanan pun sama saja kemacetannya. Salahku juga sih, berangkat dari Sukabumi selepas sholat Ashar, sehingga sekitar pukul 17.30 saja baru sampai ddi daerah Ciherang (+/_ 2 km lagi baru deh daerah Cikereteg). Aku hanya berdua saja dengan anakku yang duduk di kursi penumpang depan. Agar kepalanya tidak terbentur pintu, kuselipkan 2 buah bantal di samping kirinya, sedangkan botol susu, minuman, dan makanannya ada di tempat yang terjangkau dengan tangan kiriku. Pengasuhnya harus menjaga rumah, dan juga menjemput adiknya pulang dari sekolah TK.
Tidak ada tanda-tanda kemacetan akan mencair, maju 2 meter, diam 5 - 10 menit, hal ini membuat anakku mulai rewel. Aku teringat akan jalan pintas yang diceritakan adik iparku sebelum aku berangkat tadi, bahwa kalau melewati jalan itu aku akan sampai di daerah Gadog. Jadi begitu sampai di pertigaan Cikereteg, tanpa banyak tanya aku langsung banting setir ke kanan sambil berdoa mudah-mudahan jalan pintas ini akan membuat perjalananku menjadi lancar.
Jalan pintas yang kutempuh ini jauh lebih lancar dibandingkan jalan raya utama yang kulewati tadi. Aku berharap cepat sampai di daerah Gadog, dan langsung menikmati mulusnya jalan tol Jagorawi. Tapi kenyataan gak seindah angan angan, aku terpaku, karena jalan itu ternyata buntu dan berakhir di sebuah pintu gerbang besar dengan plang besar pula di atasnya yang bertuliskan “Perkebunan Pancawati” Ada 2 orang bapak2 lg mengobrol di dekat pintu gerbang, setelah bertanya kepada mereka, aku memutar balik mobilku dan mulai mengamati sebelah kananku barangkali tadi ada persimpangan yang aku lewati. Tak lama kemudian di depanku ada mobil bak terbuka yang mengangkut sayur mayur berbelok ke sebuah jalan kecil di sebelah kanan. Aku berpikir bahwa mobil itu mungkin mau ke Pasar Induk Kramat Jati, jadi aku pun banting setir ke kanan mengikuti mobil bak terbuka tersebut. Kira2 10 menit kemudian mobil itu berhenti di sebuah rumah yang di terasnya bertumpuk berbagai macam sayuran, mungkin mobil itu masih mau menambah beban, jadi dengan tenang kudahului dia dan kulanjutkan perjalanan.
Awalnya perasaanku santai saja ketika mulai kurasakan bahwa jalan yang kutempuh makin lama makin mengecil, sampai akhirnya hanya pas untuk jalan satu mobil saja, rumah-rumah sudah mulai jarang, tapi aku masih terus memacu mobilku walaupun hanya bisa dengan kecepatan 20 km/jam. Sampai akhirnya kusadari bahwa dari belokan tadi itu hanya mobilku saja yang melewati jalan tsb. Aku belum pernah bertemu dengan mobil lain, bahkan motor sekalipun selain mobil bak terbuka pengangkut sayuran tadi. Hari sudah mulai gelap, lampu mobil sudah mulai membantu pandanganku, maghrib mungkin sudah lama lewat, rumah-rumah sudah lama menghilang, sawah dan kebun palawija sudah berganti dengan semak belukar dan pepohonan. Dan perasaan was-was pun mulai menyergap.
Aku tahu anakku sudah mulai mengantuk, tapi aku terlalu takut untuk berhenti, walaupun hanya untuk memindahkan dia ke bangku tengah – anakku saat itu tidak bisa tidur dalam posisi duduk, dia baru bisa tidur dengan posisi berbaring tertelungkup , biasanya aku pindahkan dulu dia ke bangku tengah dan kutunggu sampai tertidur baru jalan lagi -, aku hanya bisa menarik badannya agar tidak tambah melorot duduknya – mungkin karena otot-ototnya belum kuat, anakku tidak bisa memperbaiki posisi duduknya sendiri – Dua botol susu dan beberapa potong roti isi sudah dihabiskannya, tapi dia tetap rewel, maaf ya nak, ibu terlalu takut sehingga gak punya keberanian bahkan untuk sholat maghrib sekalipun. Yang bisa kulakukan hanya berdoa dan membaca surat-surat pendek sambil terus menyetir dan berharap bahwa jalan yang kutempuh tidak berujung di jalan buntu seperti sebelumnya, dan gak mungkin aku bisa memutar balik arah mobilku karena tidak cukup ruang untuk melakukannya. Satu-satunya pilihan yang kurasa rasional saat itu hanyalah jalan terus menyusuri jalan kecil itu dan menunggu ke mana jalan tersebut akan membawaku.
Berkali-kali suamiku menelpon ke hp dan bertanya “Ibu sudah sampai mana?” Aku hanya bisa menjawab dengan jawaban yang sama “masih di daerah Cikereteg, macet total, mobil gak bisa bergerak”. Aku gak berani berterus terang, karena itu hanya akan menambah beban pikirannya, dan diapun tidak bisa menolong aku bukan? Aku pun sdh berkali-kali menghubungi hp adik iparku itu, tapi selalu jawabannya “di luar jangkauan”. Aku hanya bisa pasrah dan berdoa agar mobilku oke2 saja, bahwa aku dan anakku akan baik-baik saja, bahwa aku tidak akan bertemu dengan orang yang berniat jahat, bahwa aku akan bisa menemukan jalan untuk pulang.
Allah Swt memang Maha Pemurah, saat itu jam di tanganku sudah menunjukkan lama lewat dari pukul 19.00, sudah masuk waktu Isya, ketika dari kejauhan kulihat sorotan sinar lampu. Ya Allah terimakasih..., aku berharap di depanku akan kutemukan deretan rumah-rumah, dan lalu lalangnya mobil. Tidak dalam waktu yang lama jalan kecilku bermuara di sebuah jalan yang lebih lebar yang kulihat berbelok dari arah kiri ke arah depanku. Perasaan lega mulai hinggap di benakku, tapi aku masih tetap belum berani menghentikan mobil dan memindahkan anakku ke bangku tengah. Aku menyetir terus sampai jalan baru yang kutempuh itu sedikit demi sedikit menunjukkan bahwa di daerah tersebut ada kehidupan, jalan pun mulai ramai dilalui kendaraan, sampai akhirnya jalan itu bertemu dengan jalan utama arah Puncak, Aku tidak tahu apakah itu derah Cipayung, atau Mega Mendung. Yang kupikirkan saat itu adalah hanya menemukan tempat untuk berhenti sebentar dan menenangkan diriku. Ketika akhirnya mobilku aku parkir di pinggir jalan di bawah sebuah pohon, aku gak kuasa menahan isak tangisku sendiri. Lalu kupindahkan anakku dan kutidurkan dia di kursi tengah. Berkali-kali kubilang padanya “ Maafkan Ibu nak...maafkan ibu.....”
Setelah istriahat dan menata perasaanku, aku tidak mempedulikan perutku yang ternyata dari tadi minta diisi dan rasa lelah yang menderaku, langsung kupacu mobilku ke arah Jakarta dan baru sampai di rumah sekitar pukul 20.30. Sampai saat ini aku tidak pernah menemukan keberanian dalam diriku untuk melakukan napak tilas terhadap jalan itu, walau di siang bolong sekalipun. Aku takut tidak seberuntung waktu itu. Dan pada perjalanan berikutnya aku baru tahu bahwa ternyata aku salah mengambil jalan, ternyata jalan pintas yang dimaksud berjarak sekitar 2 km selewat pertigaan Cikereteg, dan memang jalan itu bermuara di pertigaan Gadog.
0 komentar:
Posting Komentar